Laman

Selasa, 12 November 2013

TANPA TUJUAN ITULAH TUJUAN SAYA



 
 [1]

Saya masih ingat, dulu, saat mau berangkat merantau ke Purwokerto, untuk kuliah. Saat itu Bapakku mendekatiku yang sedang prepare. Dia berbisik ringan dengan kata-kata yang dalam makna. Kata-kata yang masih saya ingat sampai sekarang.

Bapak  : Cepat lulus, ya!
[Saya yang masih remaja dan egois tidak menjawab. Terus merapikan pakaian]
Bapak  : Cepat lulus, ya!
[Saya menatap Bapak saya, bukanya menjawab, malah bertanya]
Saya    : Kenapa saya harus cepat lulus?
Bapak  : Biar cepat kerja jadi guru.
Saya    : Kenapa saya harus cepat kerja jadi guru?
Bapak  : Biar cepat dapat uang dan bantu Adik-adikmu.
Saya    : Kenapa saya harus cepat dapat uang dan bantu Adik-adikmu..
Bapak : Biar Bapak-Ibu bangga dan bahagia punya anak kamu.

SAYA DIAM. SAAT ITU, SAYA YANG SOK IDEALIS BERKATA DALAM HATI:
ITU…UJUNG-UJUNGNYA PUNYA TUJUANKAN.

Saya saat itu sedang sangat suka baca buku-buku filsafat, jadi ingat ungkapan:
TIDAK ADA YANG BEBAS NILAI

Bapak-Ibu, orang paling mulia di mata saya pun punya maksud dan tujuan. Sekalipun dengan atas nama orang lain. Tapi, ujung-ujungnya kesenangan DIRI.

Saya pun jadi ingat. Tadi siang baru berdialog dengan seorang teman relawan dari Thailand.

Saya                : Apa kau suka padaku sebagai guru di RKWK? [jawab jujur]
Relawan          : Suka –lah.
Saya                : Apa alasannya?
Relawan            : Pak Guru bisa memberi apa yang saya butuhkan. Saya minta diajari menulis, Pak Guru mau. Saya minta alamat media massa dan penerbit, Pak Guru memberi. Padahal teman-teman saya sendiri yang nyastra, sepertinya sengaja menyembunyikan yang saya minta. Tidak mau membantu saya.

Relawan suka pada saya karena saya bisa memberi apa yang dibutuhkannya. Saya tidak marah. Saya senang. Saya bahagia. Karena kesadaran saya:

MANUSIA ITU PUNYA MOTIVASI. MOTIVASI PALING DASAR ADALAH TERPENUHI KEBUTUHAN SENDIRI…


Suatu sore, saat hujan lebat, saya kumpulkan anak-anak di dalam rumah. Saya ingin bertanya pada mereka tentang diri saya.

Saya    : Apa yang membuat kalian suka di RKWK.
[Otomatis jawaban anak-anak ditujukan pada saya]
Latif    : Di sini banyak makanannya.
[Latif sangat hobi makan, itu yang membuat saya suka padanya]
Affan  : Di sini sering ada hadiah.
Wiwi   : Pak Guru baik, sih.
Aisah   : Pak Guru mengasyikan.
[Jawaban yang indah terdengar dari Juli]
Juli         : Di sini, dengan Pak Guru, kami jadi kenal sesama teman. Bermain bersama. Padahal dulu saya gak kenal dia.
[Tunjuk Juli pada teman-temannya]

Anak-anak punya motif yang jujur dalam menyukai RKWK. Menyukai diri saya. KARENA KESENANGAN DIRI MEREKA SENDIRI.

Apakah saya harus marah:
TIDAK

Saya malah mengelus dada. Senang. Bahagia. Anak-anak datang ke sini dengan niat mendapatkan makanan, bertemu teman yang asyik, dan lain sebagainya. Ini sungguh indah karena mereka akan senang di rumah saya.

[Saya akan ajukan pertanyaan untuk diri kita sendiri. Apakah sama perasaan Anda jika menemui saya karena saya PAKSA dengan karena saya MEMBERIKAN hadiah. Tentu tidak sama. Anda akan sama-sama datang menemui saya. Tapi yang datang menemui saya dengan adanya hadiah jauh lebih santai dan rileks menyenangkan. Sedangkan yang datang karena paksakan pasti akan menemui dengan ketakutan]

PADAHAL KEADAAN DIRI ANAK SANGAT MENENTUKAN BELAJAR ANAK!

[Sholatnya anak yang karena ditakut-takuti neraka akan berbeda dengan anak yang sholat karena membayangkan surga. Yang tsholat karena takut neraka akan membawa tekanan, sedangkan yang karena ingin mendapat surga, pasti lebih senang dan riang sholatnya]

INILAH IMPLIKASI MOTIVASI AWAL!!!
Inilah barangkali yang disebut Kohlberg sebagai tahap penalaran moral [orientasi kesenangan jauh lebih baik dari pada hukuman]

Di sinilah fase anak sedang terjadi. Jadi bagi saya, mengajar harus memperhatikan fase-fase perkembangan anak.

Yang mengganggu pikiran saya, bisa jadi ditanyakan teman-teman, kenapa saya sering mengajak anak-anak makan di rumah…

Saya punya pengalaman buruk soal ini.
Dulu waktu kecil saya punya tetangga yang kaya raya karena dia pegawai bank. Anaknya seusia umuran saya, sehingga saya sering main ke rumahnya. Yang paling saya suka dari dia adalah televisinya. Saya sering nonton TV padanya.

Karena sering menonton TV, saya jadi sering aktivitas makan keluarga teman saya.
Sungguh untuk ukuran itu, makan keluarga teman saya sangat istimewa. Setiap kali saya meliat keluarga itu makan:

AYAM GORENG.
BUAH-BUAHAN.
SUSU.

Saya selalu iri. Saya ingin sekali makan buah itu. Makan Ayam goren itu. Makan buah-buah. Sungguh nikmat.Tapi apa daya:

ITU TIDAK PERNAH TERJADI.

Barangkali saya dianggap terlalu kecil. Saat itu saya protes, tidak adakah yang tahu:
ANAK KECIL JUGA PUNYA HASRAT..

Kejadian ini menumpuk. Mengental. Membentuk diri saya. Yang selalu tidak tega, jika melihat anak-anak melihat makanan di rumah, tapi tak menikmatinya. Saya ingat masa lalu yang pilu.

Saat inilah yang saya rasakan. Saya tidak tahu kenapa saya melakukan ini.
PASTI PUNYA TUJUAN
YA, JELAS.

Tapi, pentingkah tujuan itu disampaiakan. Saya takut menjadi teori, yang akan memerangkap saya…
Soal ini, saya pernah ditanya, anak didik saya saat masih tinggal di perumahan. Dia bertanya sederhana.

KENAPA PAK GURU MAU MAIN DAN MAKAN BARENG DENGAN ANAK-ANAK? PADAHAL ORANGTUA DI SINI TIDAK ADA ORANGTUA YANG MAIN DAN MAKAN BARENG DENGAN ANAK-ANAK…

Saya menjawabnya tersenyum. Saya hanya katakan:
KARENA SAYA SUKA DENGAN ANAK-ANAK

[dalam hati saya berkata: karena kalianlah guru saya]

Anak itu tidak puas. Tapi juga tidak memperpanjang persoalan. Ngapain? Lebih baik bermain bersama. Akhirnya, kami pun bermain bersama. Dan bersenang-senang bersama.

INDAH SEKALI…

Kami melupakan pertanyaan itu. Kami bermain. Bermain. Bermain. Mereka senang. Saya senang. Kemudian, kami makan sekadarnya. Sekadar menghilangkan capai. Sekadar untuk menjalin keakraban.

MAKAN ADALAH MEDIA KEBERSAMAAN PALING EFEKTIF UNTUK MENGETAHUI: KAU DAN AKU SAMA. TEMAN. SAHABAT.

Saya    : Ini mendoannya buatmu.
Anak   : Pak Guru apa?
Saya    : Tahu.
Anak   : Makan tahu sama cabai. Pak Guru sok tahu dan lebaiiii…
[Kami tertawa riang]

INDAH SEKALI.
SEDERHANA SEKALI KEBAHAGIAAN ITU.
YANG RUMIT ADALAH BERPIKIRNYA.

DAN ANAK: SEDERHANA BERPIKIR DAN HARAPNYA
BERMAIN….

Selesai makan. Kami duduk bersama. Pulang:
MENGENANG INDAHNYA HARI INI.
Tidak jarang saya sering meneteskan air mata. Tidak bermain dengan anak-anak rasanya ada yang hilang.

Seeorang relawan pernah berujar dengan jujur saat ia hendak ke Bali selama beberapa hari.

Relawan          : Sedihnya lima hari tidak akan bertemu dengan anak-anak.

Saya tersenyum senang. Ternyata ada teman yang se-rasa dengan saya.
MENCINTAI ANAK-ANAK

[Ini juga yang memotivasi saya ingin mempunya anak banyak]
Ha-ha-ha

[*]

4 komentar: